Ternate, Koridorindonesia.id– Kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Maluku Utara kembali didatangi sejumlah massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Maluku Utara (AMMU) untuk berunjuk rasa. Unjuk rasa yang dilakukan oleh AMMU ini sudah kesekian kalinya buntut dari persoalan pelanggaran pemilu dan money politik yang melibatkan Paslon nomor urut 4 Sherly-Sarbin pada Pilgub Malut 27 November kemarin.
Dalam aksi tersebut, massa aksi mendesak Bawaslu segera menindaklanjuti dugaan pelanggaran yang dilakukan pasangan calon nomor urut 04, Sherly Tjoanda dan Sarbin Sehe.
Paslon Pilgub nomor urut 4 itu dituding melakukan praktik curang saat pemungutan suara pada 27 November 2024. Mereka juga menyerukan diskualifikasi terhadap pasangan tersebut dan meminta Pilkada digelar ulang tanpa keikutsertaan paslon nomor urut 04.
“Pasangan nomor urut 04 telah merusak tatanan demokrasi di Maluku Utara. Bawaslu harus bersikap tegas untuk menjaga integritas Pilkada,” ungkap Arham Goma, salah satu koordinator aksi.
Arham menyebut Yayasan Bela, yang diduga terkait dengan paslon 04, sering membagikan sembako di wilayah Maluku Utara dengan nilai mencapai ratusan miliar rupiah.
“Kami meminta PPATK untuk mengaudit aliran dana Yayasan Bela. Ada indikasi pencucian uang yang dilakukan melalui bantuan sembako, renovasi rumah ibadah, hingga insentif bagi imam dan pendeta,” pungkasnya.
Tak hanya itu, Arham juga meminta agar Bawaslu menyelidiki dugaan praktik money politik yang disamarkan atau modus sebagai bantuan sosial.
“Tindakan ini tidak hanya merusak demokrasi, tapi juga mencoreng nilai-nilai keadilan dalam Pilkada,” timpalnya.
Aksi protes AMMU diperkirakan akan terus berlanjut hingga Bawaslu memberikan keputusan terkait dugaan kecurangan dalam Pilkada Maluku Utara 2024.
Para pengunjuk rasa mengancam akan menggelar aksi besar-besaran jika tuntutan mereka tak kunjung dipenuhi.
Selain tuntutan tersebut, massa aksi juga menuding adanya keterlibatan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian dalam Pilkada Maluku Utara. Hal ini dianggap merugikan proses demokrasi di Maluku Utara. (Fik*)