Drama Pengambilalihan Kekuasaan di Dinas Pendidikan Halteng: Antara Wewenang dan Politik

Ilustrasi (istimewa)

Weda, Koridorindonesia.id– Di sudut-sudut perkantoran Halmahera Tengah, terdengar bisikan-bisikan penuh tanya tentang masa depan pendidikan di wilayah ini. Tidak seperti biasanya, Kantor Dinas Pendidikan yang seharusnya sibuk dengan pembahasan program dan anggaran kini sepi dari aktivitas pengambilan keputusan. Bukan karena musim libur, melainkan karena ada hal lebih besar yang menyelubungi suasana kerja: pengambilalihan kekuasaan yang tidak lazim.

Ridwan Salidin, sosok yang selama ini dipercaya memimpin Dinas Pendidikan Kabupaten Halmahera Tengah, kini hanya duduk di ruangannya tanpa kekuasaan yang jelas. Secara resmi, Ridwan masih menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan, namun dalam praktiknya, ia telah dilucuti dari salah satu wewenang terpentingnya—mengelola anggaran. Sejak Sekretaris Daerah (Sekda) Halmahera Tengah, M. Fitra U. Ali, mengambil alih posisi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) berdasarkan surat keputusan yang diterbitkan oleh Pj. Bupati, Bahri Sudirman, Ridwan seperti kepala tanpa kuasa.

Surat dengan nomor 903/KEP/387/2024 itu menjadi pusat kontroversi. Banyak yang mempertanyakan, bagaimana bisa seorang Sekda mengambil alih peran yang bukan bagian dari tugasnya? Sejumlah masyarakat bahkan menyebut ini sebagai tindakan yang melampaui batas.

“Apa wewenang Sekda mengambil alih posisi KPA? Ini sudah di luar jalur!” keluh seorang warga yang tidak ingin disebutkan namanya.

Tidak sedikit yang menilai langkah ini sebagai bentuk “pemberangusan” peran penting Dinas Pendidikan di Halteng. Wewenang yang seharusnya dikelola Kepala Dinas kini berada di tangan yang berbeda, dan ini menimbulkan pertanyaan tentang arah kebijakan pendidikan di masa depan.

Tata Kelola atau Politik Kekuasaan?

Ada dua sudut pandang dalam melihat persoalan ini. Pertama, dari sisi tata kelola pemerintahan, pengambilalihan ini dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang baik. Seharusnya, setiap pejabat memiliki tugas dan wewenangnya masing-masing. Ketika Sekda, yang seharusnya berperan dalam koordinasi antar dinas, justru mengambil alih peran strategis dalam pengelolaan anggaran. Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan dalam struktur pemerintahan.

Di sisi lain, ada yang memandang tindakan ini sebagai bagian dari permainan politik di level lokal. Tidak dapat dipungkiri, dalam pemerintahan daerah, posisi strategis seperti Kepala Dinas sering kali menjadi ajang tarik ulur kepentingan. Penunjukan Sekda sebagai KPA bisa saja bagian dari strategi politik untuk mengontrol arah kebijakan pendidikan di Halmahera Tengah.

Bagi Ridwan Salidin, posisi ini tidak mudah. Sebagai Kepala Dinas, ia bertanggung jawab atas keberhasilan program-program pendidikan, namun bagaimana bisa ia mempertanggungjawabkan sesuatu yang tidak lagi ia kendalikan? Ridwan hanya bisa berkantor, menyaksikan kuasa anggaran dan keputusan strategis lainnya berada di tangan Sekda.

Dampak pada Pendidikan Halteng

Sejumlah masyarakat khawatir, langkah ini akan berujung pada terganggunya pelaksanaan program pendidikan. Tanpa kuasa penuh di tangan Kepala Dinas, kebijakan pendidikan bisa terhambat, apalagi jika pihak yang mengambil alih tidak memiliki pemahaman mendalam tentang program-program yang sudah direncanakan.

“Tindakan ini bisa mempengaruhi kualitas pendidikan di sini,” ujar seorang pegawai dinas yang enggan disebutkan namanya.

“Bayangkan saja, seorang Kepala Dinas tidak bisa mengelola anggaran untuk program-program yang sudah disusun. Bagaimana bisa program berjalan lancar?” tambahnya mengeluhkan.

Masyarakat berharap agar ada langkah tegas dari pemerintah pusat atau pihak terkait lainnya untuk segera mengurai benang kusut ini. Pengambilalihan kekuasaan yang tidak sesuai prosedur hanya akan merusak tatanan yang ada dan membawa dampak negatif pada pelayanan publik, khususnya di bidang pendidikan.

Akhir dari Mati Suri?

Hingga kini, Ridwan Salidin masih menjalankan tugasnya sebagai Kepala Dinas dengan kewenangan yang terbatas. Banyak yang berharap agar situasi ini segera diakhiri, agar pelayanan publik di sektor pendidikan kembali berjalan normal. Namun, dengan kekuatan politik yang bermain di balik layar, akankah Ridwan bisa kembali berfungsi penuh dalam posisinya? Ataukah ini akan menjadi babak baru dalam drama perebutan kekuasaan di Halmahera Tengah?

Waktu yang akan menjawab. Namun satu hal yang pasti, pendidikan di Halteng kini tengah diuji oleh dinamika kekuasaan yang mungkin berdampak lebih besar dari yang diperkirakan banyak orang. (Ibo*)