Oleh: Faizal Nasar
Momentum politik 2024, khususnya pemilihan presiden (Pilpres), memberikan kesempatan kepada tiga kandidat untuk berkontestasi. Berbagai program pun disampaikan dalam visi-misi. Di antaranya, pendidikan gratis dari pasangan calon Anies-Muhaimin, wajib belajar 12 tahun gratis dari Ganjar-Mahfud, hingga makan siang gratis dari Prabowo-Gibran (Tempo.co, 23 Januari 2024). Visi-misi ini tidak lain untuk menarik simpati pemilih dalam menentukan pilihan.
Kontestasi berjalan dengan sedikit ketegangan pada debat kandidat dan lebih banyak keceriaan pada kampanye di lapangan. Hingga pada tanggal 24 April 2024, KPU menetapkan kandidat nomor urut 2, Prabowo-Gibran, sebagai pemenang dengan perolehan suara 58,59%, selisih sekitar 34% dengan kandidat nomor urut 1, Anies-Muhaimin (Tempo.co, 24 April 2024).
Pelantikan kemudian dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober 2024, di mana Prabowo Subianto sah menjadi presiden dan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden (Tempo.co, 20 Oktober 2024). Dengan begitu, visi-misi Prabowo-Gibran, yakni makan siang gratis, segera diimplementasikan. Namun, dalam upaya implementasi, program ini menemui jalan buntu. Pertama, terlihat pada pergantian nama yang semula adalah makan siang gratis menjadi makan bergizi gratis (Tempo.co, 15 Januari 2025). Kedua, adalah kurangnya biaya yang mengakibatkan terjadinya efisiensi anggaran melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 pada setiap kementerian/lembaga (Kompas.id, 23 Januari 2025).
Pemangkasan Anggaran yang Mengorbankan Keluarga dan Perempuan
Efisiensi alias pemangkasan anggaran yang diinstruksikan presiden bertujuan untuk menopang berjalannya program makan bergizi gratis. Di antara instansi yang dipangkas anggarannya, yang paling banyak adalah Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) (CNN Indonesia, 3 Februari 2025). Pemangkasan ini mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai instansi, seperti RRI dan TVRI yang terpaksa melakukan PHK sebanyak 1.000 jurnalis (MetroTv, 12 Februari 2025). Ini memperlihatkan bahwa pemangkasan anggaran berdampak pada sektor publik dan infrastruktur, bahkan sampai pada kehilangan pekerjaan.
Namun, yang lebih memprihatinkan adalah dampak pemangkasan anggaran terhadap keluarga, terutama perempuan. Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Valentina Gintings, menyebutkan faktor ekonomi sering menjadi penyebab utama kekerasan terhadap perempuan. (Kompas.com, 29 Juni 2022). Seorang suami yang kehilangan pekerjaan atau penghasilan merasa frustrasi karena tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga, seringkali melampiaskannya di rumah, dan istri menjadi korban atas hal tersebut. Artinya, dampak buruk pemangkasan anggaran tidak berhenti di tempat kerja saja, melainkan sampai pada ruang keluarga, bahkan menjadi pemicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Ibu Hamil dan Anak-Anak, Terpinggirkan dalam Program Makan Bergizi Gratis
Salah satu tujuan utama dari program makan bergizi gratis adalah untuk mengatasi masalah stunting di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (2023) dalam hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI), terdapat 27,7% ibu hamil mengalami anemia dengan risiko melahirkan bayi stunting. Selain itu, sebanyak 16,9% ibu hamil mengalami Kurang Energi Kronis (KEK) yang juga berkontribusi pada bayi yang lahir stunting. (Validnews.id, 29 Mei 2024). Data ini membenarkan bahwa sasaran utama program makan bergizi gratis adalah ibu hamil dan anak-anak yang membutuhkan asupan gizi untuk tumbuh kembang yang optimal. Ibu hamil dan anak-anak yang merupakan kelompok paling rentan terhadap kekurangan gizi, mestinya menjadi yang paling diuntungkan dari kebijakan ini. Namun, kenyataan justru sebaliknya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan makan bergizi idealnya lebih dari sekali dalam sehari. (WHO, 2020). Namun, pada program makan bergizi gratis hanya disediakan sekali dalam sehari. (CNBCN Indonesia, 9 Oktober 2024). Dalam artian, pada waktu-waktu lain, makan bergizi harus dicari sendiri. Sementara, suami yang kehilangan pekerjaan akibat efisiensi anggaran untuk program ini, berada dalam kondisi finansial yang sulit. Sehingga di tengah situasi ekonomi yang tertekan, harapan pemerintah untuk mencegah stunting dengan cara-cara seperti ini mustahil berjalan efektif dan mencapai target.
Pada akhirnya, program makan bergizi gratis yang diusung oleh pemerintahan Prabowo-Gibran memperlihatkan ketidaksesuaian antara niat baik dan implementasi yang tidak matang. Efisiensi anggaran yang seharusnya menopang keberlangsungan program ini, justru memperburuk kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
Sebagai langkah perbaikan, pemerintah perlu memastikan bahwa program-program sosial seperti ini dirancang dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kesiapan anggaran dan dampak sosial-ekonomi yang lebih luas. Jangan sampai, dalam upaya mengatasi masalah besar seperti stunting, justru memperburuk keadaan keluarga, terutama perempuan dan anak-anak yang semestinya menjadi kelompok yang paling mendapat perhatian.**