Menjaga Api Cita-Cita, Cut Farah A.K.R Raih Juara Harapan III Duta GenRe Malut 2025

Cut Farah A.K.R, Mahasiswa KPI IAIN Ternate Raih Juara Harapan III Duta GenRe Maluku Utara Tahun 2025

Ternate, Koridorindonesia.id– Angin malam Ternate yang merayap pelan melalui jendela kos sederhana, membawa aroma laut dan kenangan masa kecil di Tobelo. Di sinilah Cut Farah A.K.R, mahasiswi yang baru saja dinobatkan sebagai Juara Harapan III Duta Generasi Berencana (GenRe) Provinsi Maluku Utara 2025, merefleksikan perjalanan hidupnya. Kisahnya bukan sekadar daftar prestasi, melainkan contoh nyata ketahanan remaja di tengah tekanan kuliah, komitmen sosial, dan perubahan diri. Dengan dasar keluarga yang kuat dan pandangan GenRe sebagai rancangan hidup lengkap, Farah menunjukkan bagaimana pemuda bisa melewati masa sulit menuju perubahan positif.

Masa kanak-kanak Farah di Tobelo, Halmahera Utara, membentuk dasar hidupnya. Di kota kecil itu, ia menyelesaikan sekolah dasar dan menengah atas, dikelilingi kehangatan keluarga yang menekankan nilai kebersamaan dan kebahagiaan sederhana. “Masa kecilku sangat baik, bahkan luar biasa,” katanya, menggambarkan masa di mana dukungan orang tua menjadi pendorong utama.

Pindah ke Ternate untuk kuliah memperkenalkannya pada GenRe program BKKBN yang lebih dari sekadar kesehatan reproduksi. Bagi Farah, GenRe mencakup kesehatan mental, fisik, rencana keluarga, karir, dan kehidupan remaja secara keseluruhan. Pandangan ini mengubah rasa ingin tahunya menjadi keterlibatan sungguh-sungguh, di mana perencanaan menjadi langkah maju ke depan.

Dukungan keluarga dan teman sebaya menjadi tulang punggung ceritanya. Meski terpisah jarak, orang tua Farah memberi dorongan penuh selama pilihan itu positif. Panggilan telepon rutin dan kepercayaan penuh membentuk perlindungan emosional. Teman kampus juga memperkuatnya tidak ada cela saat ia ikut lomba Duta GenRe. “Jika ada ejekan, aku tak akan mendengarnya,” tegasnya, menunjukkan kekuatan pribadi menghadapi tekanan sosial.

Teori ketahanan psikologis dari Ann Masten relevan di sini: ketahanan bukan bakat istimewa, melainkan “ordinary magic” yang tumbuh dari sistem dukungan sehari-hari seperti keluarga dan teman. Dukungan sosial ini menjadi perisai yang melindungi Farah dari tekanan luar, memberi rasa aman, tempat berpijak, dan keyakinan bahwa ia tidak sendirian, sehingga ia tetap mampu mengendalikan pilihannya sendiri di tengah tuntutan kuliah dan peran sosial.

Puncak tekanan datang saat UAS dan karantina daring. Ujian akhir semester butuh fokus penuh, tapi Farah terjebak jadwal Zoom melelahkan, dengan kurang tidur yang bikin tubuh lelah dan pikiran kacau. Bayangkan ia di depan laptop tengah malam, notifikasi terus datang di tengah tumpukan tugas, tubuh protes, pikiran gelisah. “Aku hampir menyerah,” akunya, hampir tinggalkan semuanya demi kuliah. Saat itu mencerminkan benturan peran ganda dari teori Robert Merton: Farah memegang dua peran yang sama-sama menuntut mahasiswa yang wajib fokus UAS dan aktivis GenRe yang terikat jadwal karantina daring.

Ketegangan muncul ketika tuntutan kedua peran bertumpuk, menimbulkan konflik waktu, energi, dan emosi hingga membuatnya hampir menyerah. Tapi kata sahabatnya “Orang lain belum tentu seperti kamu di titik ini”. Ini menjadi pegangan, ubah ragu menjadi pemikiran: setiap pilihan punya akibat yang harus dihadapi. Farah belajar terima lelah sebagai hal wajar, bukan kekurangan, dan tolak menyerah sebagai pilihan masuk akal.

Keterlibatan di GenRe membentuk kebiasaan praktisnya, terutama disiplin waktu dan pilihan lingkungan. Komunitas GenRe yang tepat waktu menunjukkan kedewasaan remaja lebih dari sekadar datang pas waktunya, tapi hormati janji bersama. Diskusi di kafe bebas rokok tekankan kesehatan menyeluruh: “Sehat tubuh dan mental,” katanya, soroti ruang yang bantu pikiran jernih.

Cara ini sejalan dengan konsep habitus Pierre Bourdieu: kebiasaan harian yang terus diulang—datang tepat waktu, memilih ruang nongkrong bebas rokok, dan merawat kesehatan tubuh serta mental—secara perlahan membentuk pola pikir jangka panjang. Habitus ini membuatnya secara spontan menghargai waktu, menjaga tubuh dan pikiran, serta memandang kesehatan sebagai bagian dari rencana hidup, bukan sekadar slogan.

Persiapan grand final uji batas kenyamanannya. Farah, yang kurang pandai menari, luangkan 15-60 menit sehari hafal gerakan. Bayangkan latihan sendirian di kamar kecil, musik dari ponsel ulang ritme lambang ubah kelemahan jadi kemampuan. “Alhamdulillah, aku membuktikan bahwa aku bisa,” katanya, tunjukkan keyakinan diri ala Albert Bandura sebagai kunci sukses.

Self-efficacy ini adalah keyakinan spesifik bahwa dirinya mampu mempelajari dan menampilkan tarian yang sebelumnya dirasa sulit, membuatnya mau berlatih setiap hari, tidak berhenti saat salah gerakan, dan maju ke panggung meski tahu menari bukan kelebihannya. Kata sahabatnya semakin menguatkan keyakinan bahwa usahanya bermakna, sehingga ia bertahan bukan mundur.

Di hari pengumuman, Farah naik panggung tanpa harap berlebih, utamakan manfaat sosial daripada gelar. “Aku hanya ingin bermanfaat,” katanya. Saat namanya disebut Juara Harapan III, sukacita dan bangga diri datang, ajak kita pikir ulang budaya lomba yang sering lupakan penghargaan diri.

Pesan Farah untuk pemuda Maluku Utara sederhana tapi mendalam, setiap orang punya “harta karun” dalam diri, potensi unik yang bedakan bukan apa yang dimiliki, tapi cara tanggapi tantangan. “Jangan takut, jangan minder, percayalah pada dirimu yang luar biasa,” nasihatnya, tekankan tindakan daripada terlalu mikir panjang. GenRe bukan sekadar program, tapi cermin rencana hidup mimpi besar, bertanggung jawab, dan beri dampak. (Nining*)