Pemerintahan adalah sistem atau organisasi yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengelola sebuah wilayah atau negara guna mencapai ketertiban dan kesejahteraan masyarakat. Melalui pemerintahan, aturan dibuat dan dijalankan supaya kehidupan bersama bisa berjalan dengan baik, mulai dari membuat kebijakan, menegakkan hukum, sampai memberikan pelayanan kepada warga. Intinya, pemerintahan merupakan sarana bagi penguasa untuk menjalankan kekuasaan demi kepentingan rakyat dan menjaga kestabilan negara.
Masalah pemerintahan di Maluku Utara masih menghadapi tantangan yang cukup kompleks terutama dalam pengelolaan aset daerah, integritas birokrasi, dan pelayanan publik. Salah satu isu utama adalah pengelolaan barang milik daerah yang belum tertata dengan baik, di mana sekitar 54 persen aset tanah Pemprov Maluku Utara belum bersertifikat, walaupun nilai aset tersebut mencapai lebih dari Rp1,1 triliun. Kondisi ini tidak hanya menjadi persoalan administratif, tetapi juga membuka peluang kerugian negara dan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Ratusan tahun yang lalu, tanah ini, negeri ini, Moloku Kie Raha adalah tanah bertuah. Nilainya tidak terhingga, karena mistisisme dan adat seatorang membalutnya dalam ritual-ritual sakral. Dalam sebuah forum Rapat Koordinasi Awal Gugus Tugas Reforma Agraria Provinsi Maluku Utara yang digelar di Halmahera Room, Bela Hotel pada Rabu (16/7/25), Gubernur Malut, Sherly Tjoanda menyoroti konflik agraria di Maluku Utara, terutama di wilayah pertambangan yang bersinggungan dengan masyarakat adat.
“Masyarakat adat merasa memiliki tanah, namun tidak ada legan standing karena belum terserrifikasi. Ini yang memicu konflik” demikian kata Sherly dalam forum tersebut. Gubernur Malut ini juga menawarkan langkah konkret penyelesaian persoalan-persoalan ini dengan mengusulkan agar tanah adat dimasukkan kedalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan proses legalisasinya bisa dilakukan secara bertahap. Langkah ini terdengar manis, tapi perlu juga dikawal hingga finish. Jangan sampai, ini hanyalah isapan jempol belaka. Legalisasi tanah adat adalah langkah paling normatif untuk masyarakat Moloku Kie Raha yang didominasi oleh masyarakat adat.
Untuk mencapai ini semua, tata kelola pemerintah juga perlu dibenahi secara serius. Hal ini sebab, jika mengacu pada skor Monitoring Center for Prevention (MCP) sempat meningkat namun kemudian menurun, yang menunjukkan bahwa transparansi dan akuntabilitas masih perlu diperbaiki secara serius. Di sisi lain, pelayanan publik kepada masyarakat juga belum optimal, dibuktikan dengan banyaknya laporan maladministrasi yang diterima oleh Ombudsman Maluku Utara. Sepanjang tahun 2024, lembaga ini menerima sebanyak 580 laporan yang beragam, termasuk 300 laporan langsung dari masyarakat, yang menggambarkan masih tingginya keluhan terhadap berbagai pelayanan publik seperti administrasi kependudukan, kesehatan, dan infrastruktur. Tingginya jumlah laporan ini sekaligus menjadi gambaran nyata bahwa janji-janji para gubernur Maluku Utara terdahulu dalam memperbaiki tata kelola dan meningkatkan pelayanan publik belum sepenuhnya terwujud.
Banyak janji kampanye yang menggebu soal transparansi dan pemberantasan korupsi seringkali hanya menjadi retorika tanpa implementasi nyata, terutama dalam memperbaiki pelayanan dasar dan melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh. Tidak sedikit masyarakat yang merasa kecewa karena perubahan yang dijanjikan tidak terasa di lapangan, baik dari sisi kecepatan, kemudahan, maupun kualitas layanan yang diberikan pemerintah. Ketergantungan fiskal Maluku Utara yang masih lebih dari 90 persen pada dana transfer pusat juga menjadi salah satu faktor penghambat pembangunan yang mandiri dan pelayanan publik yang efektif. Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, pemerintah daerah perlu mempercepat proses sertifikasi aset dengan menerapkan sistem digital yang transparan dan aman, sehingga potensi kerugian bisa diminimalisir. Selain itu, penguatan pengawasan internal dan peningkatan kerja sama dengan lembaga anti-korupsi harus dijalankan untuk memastikan birokrasi bersih dan akuntabel. Mendorong kemandirian fiskal juga penting, dengan mengembangkan potensi ekonomi lokal seperti sektor tambang dan pariwisata secara berkelanjutan agar sumber pendapatan asli daerah bisa meningkat. Perbaikan pelayanan publik harus berbasis partisipasi masyarakat, supaya program yang dijalankan sesuai dengan kebutuhan nyata warga dan dapat meningkatkan kepercayaan mereka terhadap pemerintah.
Ombudsman Maluku Utara juga telah mendorong pemerintah agar serius berbenah setelah hasil survei kepatuhan Sistem Pemerintah Berbasis Elektronik (SPBE) memperlihatkan bahwa provinsi ini masih berada di zona merah, yang mengindikasikan perlunya percepatan transformasi digital dan peningkatan standar pelayanan publik. Dengan langkah-langkah tersebut dan komitmen nyata dari para pemimpin daerah, Maluku Utara memiliki peluang besar untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memperkuat kestabilan daerah. Kepala daerah dan aparat birokrasi diharapkan dapat memegang teguh prinsip kejujuran dan tanggung jawab, karena setiap dana yang dikelola adalah amanah untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Jika dikelola dengan baik dan didukung transparansi serta partisipasi publik, Maluku Utara bisa berkembang menjadi daerah yang lebih maju dan bermartabat, dengan pelayanan publik yang mampu memberikan dampak nyata pada kehidupan warganya.**