Oleh: Hikmah
(Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Ternate)
Kasus kekerasan dalam keluarga yang terjadi di Ternate pada 17 Juli 2025, sebagaimana diberitakan oleh Tribun Ternate, menggambarkan persoalan serius dalam relasi antarpersonal. Seorang paman bernama Kamel Tahrir diduga melakukan penganiayaan terhadap keponakannya sendiri, Nadia Munawar, akibat konflik warisan yang tidak terselesaikan secara damai. Kejadian ini mencerminkan kegagalan komunikasi dalam keluarga, serta lemahnya mekanisme penyelesaian konflik berbasis relasi dan empati.
Pendekatan antarpersonal menekankan pentingnya komunikasi terbuka, pengendalian emosi, serta upaya memahami perspektif orang lain. Jika setiap pihak mampu berdialog secara asertif dan penuh empati, kemungkinan besar konflik bisa dicegah sebelum berubah menjadi kekerasan fisik. Dalam konteks budaya Ternate yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, peristiwa ini menjadi ironi yang menyesakkan: hubungan darah justru menjadi sumber luka.
Komunikasi antarpersonal yang sehat dalam keluarga adalah pondasi utama untuk mencegah kekerasan. Ketika muncul perbedaan atau ketegangan, seharusnya tersedia ruang mediasi dengan melibatkan tokoh masyarakat atau tokoh agama yang dipercaya kedua belah pihak. Sayangnya, dalam kasus ini, mediasi semacam itu tampaknya tidak terjadi — yang memperlihatkan lemahnya fungsi sosial dalam mendamaikan konflik pribadi.
Menurut Jalaluddin Rahmat (2007), komunikasi antarpersonal yang efektif membutuhkan kehadiran keterbukaan (openness), empati, sikap mendukung, dan kesetaraan. Dalam keluarga, praktik komunikasi ini menciptakan hubungan yang lebih sehat, memperkuat ikatan emosional, dan membantu setiap anggota keluarga tumbuh secara pribadi.
Dalam konteks keluarga, komunikasi antarpersonal berperan penting dalam membangun pemahaman dan kepercayaan. Ketika terjadi konflik, kemampuan anggota keluarga untuk saling mendengarkan tanpa menghakimi, mengungkapkan perasaan dengan jujur, dan mencari solusi bersama dapat mengurangi ketegangan secara signifikan. Komunikasi yang empatik memungkinkan setiap anggota merasa dihargai dan didengar, yang pada akhirnya menciptakan iklim emosional yang mendukung penyelesaian masalah.
Selain penanganan hukum yang tegas, korban juga membutuhkan dukungan emosional dan lingkungan yang aman. Penyembuhan luka akibat kekerasan dalam keluarga harus dilakukan melalui pemulihan hubungan antarpersonal, bukan hanya lewat jalur hukum. Di sinilah pentingnya keterlibatan masyarakat sebagai penyokong sosial, bukan sekadar penonton pasif.
Semoga tragedi ini menjadi pengingat bagi semua pihak: bahwa kekerasan tidak pernah menjadi solusi. Dengan memperkuat komunikasi dalam keluarga, membangun empati, dan menghargai perbedaan, kita bisa menciptakan rumah sebagai tempat yang aman, bukan ruang penuh ketegangan.**