Oleh: Diah Ayesha Fitraini
(Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Ternate)
Hari ini, kita menyaksikan generasi yang tumbuh dengan akses paling luas dalam sejarah umat manusia. Mereka bisa belajar apa pun lewat internet, berteman lintas benua, bahkan berwirausaha sejak bangku SMA. Tapi ironisnya, generasi ini juga dikenal sebagai generasi paling lelah, cemas, dan kehilangan makna. Inilah yang oleh banyak ahli disebut sebagai Generation Burnout.
Lelah di Tengah Kemudahan
Bayangkan, kita hidup di era di mana satu klik bisa membuka ribuan peluang mulai dari beasiswa luar negeri, kursus gratis, kerja remote, sampai bisnis online. Namun, justru di tengah semua kemudahan ini, banyak anak muda merasa tidak cukup, tidak mampu, bahkan tidak tahu arah hidup.
Media sosial memperparah ini. Saat membuka Instagram atau LinkedIn, kita melihat teman-teman seumur kita sudah magang di luar negeri, bikin startup, punya prestasi viral. Lalu muncul pikiran, “Aku sedang apa? Kenapa aku biasa-biasa saja?”
Ini bukan soal iri, tapi soal tekanan tak kasatmata. Tekanan untuk menjadi hebat sebelum dewasa, untuk selalu produktif tanpa jeda, untuk “menjadi sesuatu” secepat mungkin. Tekanan ini tidak datang dari orang tua saja tapi juga dari algoritma.
Burnout itu Bukan Cuma Lelah
Burnout bukan sekadar kelelahan fisik. Ini adalah keletihan batin yang terus-menerus. Studi oleh Mudasir Ashraf (2025) dalam International Journal of Science and Research menemukan bahwa burnout digital ditandai oleh kelelahan emosional akibat overload informasi meningkat di kalangan Gen Z. Intervensi seperti mindfulness dan “digital detox” secara signifikan menurunkan gejala burnout hingga membuat seseorang mati rasa terhadap apa yang ia kerjakan. Anak-anak muda kini mengalami:
1. Stres kronis karena harus selalu aktif di dunia digital.
2. Overthinking karena merasa ketinggalan dari pencapaian orang lain.
3. Crisis of purpose merasa hidup tanpa arah meski sibuk setiap hari.
4. Mental fatigue terlalu banyak konsumsi informasi tanpa waktu mencerna.
Tak hanya burnout, generasi z di Indonesia juga memiliki tingkat kecemasan yang tinggi di antara generasi lainnya. Menurut hasil survei Alvara Research Centre pada 2021, ada 28,3% responden dari generasi z di Indonesia yang merasa cemas.
Tingginya tingkat kecemasan generasi z karena mereka belum memiliki banyak pengalaman dalam menghadapi tekanan. Ini berbeda dengan generasi pendahulunya, seperti generasi x dan milenial.
Salah satu penyebab stres ini adalah kurangnya pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menggunakan sistem atau perangkat lunak baru. Bahkan karyawan berpengalaman pun sering merasa frustrasi dan tertekan karena kesulitan beradaptasi dengan teknologi baru dan yang terus berkembang. Namun, ketika pekerja mengalami kegagalan dalam sumber daya mereka sendiri untuk menyelesaikan tugas, hal itu dapat menyebabkan kelelahan dan burnout.
Parahnya, semua ini sering dibungkus dengan label “kurang bersyukur” atau “kurang semangat”, padahal akar masalahnya lebih dalam, sistem sosial dan budaya performatif yang menghargai manusia hanya dari pencapaiannya.
Kita bukan mesin pencetak prestasi. Kita manusia, dengan rasa, ritme, dan kelemahan. Generation Burnout lahir karena kita dituntut jadi sesuatu yang bukan kita.
Generation burnout bukan sekadar isu gaya hidup. Ini adalah sinyal bahwa kita perlu menata ulang cara kita menjalani hidup di era teknologi. Rehat dari layar bukan tanda kemalasan, tapi bentuk perlawanan terhadap dunia yang terus menuntut produktivitas tanpa jeda.
Saat dunia menuntut kita berlari, kadang cara paling berani adalah berjalan pelan dan sadar. Karena dalam pelan itu, kita menemukan napas. Dan dalam napas itu, kita menemukan kembali diri kita yang hilang.**






