Oleh: Nining Farida
(Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Ternate)
Profesi jurnalis menuntut dedikasi tinggi dalam mengejar kebenaran dan menyajikan informasi kepada publik. Namun, realita di lapangan seringkali jauh dari ideal. Pengalaman saya sebagai jurnalis magang, ditandai dua kali penolakan akses liputan dari sebuah instansi pemerintah, mengungkapkan betapa sulitnya menjalankan tugas jurnalistik di Indonesia. Penolakan tersebut bukan sekadar hambatan administratif, tetapi mencerminkan tantangan sistemik yang menghambat kebebasan pers. Kejadian ini, sayangnya, bukanlah kasus yang terisolasi.
Kasus penganiayaan terhadap jurnalis M. Julfikram Suhadi dari Tribun Ternate dan Fitriyanti Safar dari media Halmaheraraya saat meliput demonstrasi “Indonesia Gelap” di Ternate, Maluku Utara (24 Februari 2025), mengungkapkan sisi gelap lain dari profesi ini. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota Satpol PP terhadap Julfikram, dan kemudian meluas kepada Fitriyanti yang berupaya melerai, menunjukkan betapa rentannya keselamatan jurnalis saat menjalankan tugas. Pernyataan Fitriyanti dikutip dari Kompas.com bahwa ketika Julfikram dipukul lagi, para jurnalis mencoba mengamankannya. Ia juga ikut membantu, tapi malah mengalami kekerasan serupa. Hal ini mengungkapkan ketakutan dan ancaman nyata yang dihadapi. Laporan polisi yang telah diajukan pun menjadi bukti nyata perlunya perlindungan yang lebih kuat.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas menjamin kebebasan pers sebagai hak asasi manusia dan pilar demokrasi. UU ini melindungi hak wartawan untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi, serta menjamin keamanan mereka dalam menjalankan tugas. Namun, kenyataannya regulasi ini masih memiliki celah signifikan dalam implementasi dan penegakan hukumnya. Penolakan akses liputan bukan hanya kasus isolasi, tetapi mencerminkan keengganan beberapa instansi pemerintah untuk berhadapan dengan pengawasan publik melalui media. Hal ini menunjukkan adanya ketidakpatuhan terhadap amanat UU Pers. Lebih jauh lagi, kasus kekerasan di Ternate menunjukkan kegagalan sistem dalam melindungi jurnalis dari ancaman fisik.
Tingginya tindakan represif terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan kurangnya komitmen untuk melindungi profesi ini. Perlu investigasi menyeluruh untuk mengungkap apakah ada unsur kesengajaan dalam penyerangan tersebut dan apakah ada upaya untuk menghalangi pemberitaan terkait demonstrasi “Indonesia Gelap”. Proses hukum yang transparan dan hukuman yang setimpal bagi pelaku sangat diperlukan untuk memberikan efek jera dan menciptakan iklim yang kondusif bagi kebebasan pers.
Setiap instansi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus berkomitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas. Sikap tertutup dan tindakan represif terhadap jurnalis merupakan ancaman serius bagi demokrasi. Kebebasan akses informasi merupakan hak publik, dan jurnalis berperan krusial dalam menjamin akses tersebut. Penolakan akses liputan tanpa alasan yang sah dan transparan merupakan pelanggaran terhadap hak publik untuk mengetahui informasi. Oleh karena itu, perlu adanya mekanisme pengaduan yang efektif dan independen untuk menangani kasus-kasus pelanggaran kebebasan pers.
Pemerintah juga harus meningkatkan perlindungan bagi jurnalis melalui peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis serta memperkuat kerja sama dengan organisasi jurnalistik profesional. Komitmen yang kuat dari pemerintah untuk menghormati dan melindungi kebebasan pers merupakan kunci untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi jurnalis dalam melaksanakan tugasnya sebagai pilar demokrasi. Hanya dengan demikian, jurnalis dapat bekerja tanpa rasa takut dan intimidasi, dan masyarakat dapat menikmati haknya untuk mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang.***