Baju Olahraga Tak Bisa Menutupi Aib Korupsi

Oleh: Herlina
(Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Ternate)

Korupsi kembali menggerogoti sektor yang seharusnya menjadi ruang pembinaan prestasi dan karakter: olahraga. Kali ini, dugaan penyelewengan anggaran hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ternate tahun 2018–2019 menjadi sorotan publik setelah Kejaksaan Negeri Ternate resmi menahan dua tersangka, yakni mantan Ketua KONI Ternate berinisial LP dan mantan bendahara YI.

Dikutip dari media TribunTernate, keduanya ditetapkan sebagai tersangka pada 30 April 2025 setelah hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Maluku Utara menemukan adanya kerugian negara sebesar Rp801 juta. Jumlah yang sangat besar, terlebih bila kita menimbang bahwa dana tersebut sejatinya dialokasikan untuk mendukung pembinaan berbagai cabang olahraga di Kota Ternate.

Menurut pernyataan dari pihak kejaksaan, penahanan terhadap para tersangka dilakukan pada Senin, 14 Juli 2025 di Rutan Kelas IIB Ternate, untuk masa 20 hari ke depan. Disampaikan pula bahwa berkas perkara akan segera dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan.
Ini bukan semata soal hukum, tetapi juga tragedi moral. Dana publik sebesar Rp7,2 miliar yang terbagi menjadi Rp2,7 miliar pada 2018 dan Rp4,5 miliar pada 2019 tersebut seharusnya digunakan secara bertanggung jawab untuk membangun fondasi olahraga daerah. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya: pengkhianatan terhadap amanah publik tanpa rasa malu.

Lebih lanjut, pihak kejaksaan menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada pengembalian dana yang merugikan negara, dan hal ini makin mempertegas absennya itikad baik dari mereka yang bertanggung jawab. Peristiwa ini pun menjadi preseden buruk dalam pengelolaan dana publik terutama dalam dunia olahraga, tempat seharusnya integritas dan sportivitas dijunjung tinggi.

Menurut teori principal-agent dalam ilmu administrasi publik, penerima dana (dalam hal ini KONI sebagai agent) wajib mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya yang dipercayakan oleh principal (pemerintah dan masyarakat). Namun teori ini kerap runtuh di lapangan ketika minimnya transparansi dan lemahnya pengawasan menjadikan relasi ini pincang.

Salah satu akar persoalan dalam kasus ini bisa ditelusuri dari lemahnya sistem akuntabilitas publik terhadap penggunaan dana hibah. Hibah bukanlah dana lepas pantai yang bebas pelaporan. Namun dalam praktik, banyak hibah justru lolos dari pengawasan ketat karena dianggap bukan belanja langsung, padahal nilainya signifikan.

Data terbaru dari BPKP (Mei 2025) menunjukkan bahwa sepanjang 2023–2024, terdapat Rp3,1 triliun dana hibah dan bansos di tingkat daerah yang bermasalah, mencakup penyimpangan administratif dan indikasi korupsi. Sektor olahraga tercatat sebagai salah satu dari tiga sektor tertinggi dengan tingkat penyimpangan dana hibah terbesar, selain pendidikan dan keagamaan.

Berdasarkan Laporan Tren Korupsi ICW Semester I 2025, dari 218 kasus korupsi yang ditangani penegak hukum sejak Januari hingga Juni 2025, 22 kasus di antaranya melibatkan penyelewengan dana hibah dan kegiatan olahraga. Bahkan, ICW menyebut bahwa praktik penyalahgunaan dana hibah kerap dilindungi oleh “jaringan loyalis elite lokal” sehingga proses hukum kerap berjalan lambat atau terbentur kepentingan politik.
Dalam konteks kasus KONI Ternate, kerugian sebesar Rp801 juta dari total dana Rp7,2 miliar berarti sekitar 11,1% dari total anggaran tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif melainkan korupsi yang menggerogoti masa depan atlet dan kepercayaan publik.

Sebagai perbandingan, dalam kasus serupa yang juga terjadi pada KONI Sumatera Barat (2022), tercatat kerugian negara sebesar Rp2,5 miliar dengan modus fiktif laporan pertanggungjawaban dan pemotongan dana kepada pengurus cabor. Pola serupa mulai tampak sebagai “template” korupsi dana hibah KONI di berbagai daerah.

Pernyataan bahwa olahraga adalah cermin semangat bangsa bukanlah klise. Ia mengandung makna filosofis bahwa keberhasilan suatu bangsa bisa dinilai dari bagaimana negara itu menghargai etika dalam pembinaan atlet dan prestasi. Maka ketika dana pembinaan atlet justru dikorupsi oleh pengurus, cermin itu bukan sekadar retak tapi nyaris hancur.
Bagaimana mungkin kita berharap munculnya atlet unggulan dari Ternate jika dana pelatihan, pengadaan peralatan, hingga kompetisi justru diselewengkan? Ini bukan hanya merugikan negara secara materi, tetapi juga membunuh moral, motivasi, dan peluang bagi generasi muda.

Di saat banyak atlet berjuang dengan alat seadanya dan dana pas-pasan, ada oknum yang justru mengambil keuntungan pribadi dari anggaran pembinaan. Tak hanya tidak adil, tetapi juga keji secara sosial.
Bahkan, menurut data Kemenpora RI per Juli 2025, sekitar 62% atlet daerah di Indonesia masih mengandalkan dana pribadi atau komunitas untuk mengikuti kejuaraan tingkat provinsi maupun nasional. Padahal dana hibah olahraga sudah digelontorkan secara rutin melalui APBD dan APBN setiap tahun.

Kasus ini seharusnya menjadi cermin evaluasi besar bagi KONI dan pemerintah daerah. Sudah saatnya sistem pengelolaan keuangan organisasi olahraga diperkuat dengan instrumen digitalisasi pelaporan berbasis waktu nyata (real-time reporting), yang bisa diaudit kapan saja dan oleh siapa saja termasuk masyarakat.
Keterlibatan publik dalam pengawasan juga harus ditingkatkan. Pemerintah dapat membuka akses informasi publik melalui kanal resmi, sehingga masyarakat bisa memantau ke mana dana hibah disalurkan dan sejauh mana pelaksanaannya. Prinsip open government ini sudah lama diterapkan di negara-negara maju dan terbukti mampu menekan korupsi sektor publik.

Lemahnya peran pengawasan legislatif dan OPD terkait juga menjadi bagian dari kritik struktural. Sebab, korupsi dana hibah tidak mungkin terjadi dalam skala besar jika sistem penganggaran, pencairan, dan evaluasinya berjalan ketat dan profesional.

Untuk langkah perbaikan, ada sejumlah masukan yang bisa dipertimbangkan:
• Pertama, perlu regulasi teknis yang lebih ketat dan transparan tentang proses penyaluran dan pertanggungjawaban hibah, khususnya di sektor olahraga.
• Kedua, pengurus KONI di seluruh daerah wajib mengikuti pelatihan manajemen keuangan dan integritas publik, bukan hanya teknis olahraga.
• Ketiga, pembentukan unit pengawasan independen (bisa berbentuk tim gabungan akademisi, auditor, dan komunitas olahraga) yang bertugas memverifikasi penyaluran dan realisasi hibah secara periodik.
• Keempat, pemberdayaan komunitas atlet dan pelatih sebagai pihak yang juga memiliki akses terhadap informasi hibah, agar tercipta kontrol sosial horizontal.

Penahanan ini tentu harus dilihat sebagai langkah awal. Proses hukum harus berlangsung transparan dan adil, dan yang tak kalah penting, disertai dengan upaya konkret untuk memulihkan kerugian negara. Masyarakat juga menunggu sikap tegas dari Pemerintah Kota Ternate serta otoritas terkait lainnya untuk segera membenahi sistem pengelolaan hibah agar kasus serupa tidak terulang di masa depan.

Lebih dari itu, ini adalah momentum untuk membenahi integritas para pengurus organisasi bukan hanya di sektor olahraga, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan birokrasi publik. Perlu disadari bersama, anggaran hibah bukanlah uang tak bertuan. Itu adalah bentuk kepercayaan rakyat yang harus dipertanggungjawabkan secara moral dan administratif hingga sen terakhir.
Karena jika benar olahraga adalah cerminan dari semangat dan jiwa bangsa, maka korupsi yang mencederainya adalah pengkhianatan terhadap masa depan bangsa itu sendiri. Dan tak peduli seberapa tebal seragam atau seberapa sering para pejabat olahraga tampil di podium kehormatan, baju olahraga tak akan pernah cukup untuk menutupi aib korupsi yang telah mereka ciptakan.***