Jalan Tani Maluku Utara: Antara Kepentingan Petani dan Gagasan Elit

Oleh: Zulmi Fahmi
(Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Ternate)

Pemerintah Provinsi Maluku Utara, melalui Dinas Pertanian yang dipimpin Serly Laos, kembali menggulirkan program jalan tani sebagai salah satu fokus pembangunan sektor agraria di tahun anggaran 2025. Program ini, meskipun secara ide sangat relevan dalam konteks keterisolasian petani di kawasan pedalaman, menjadi sorotan publik setelah mendapat dukungan politis dari DPRD. Namun, dukungan tersebut memunculkan sejumlah pertanyaan: sejauh mana jalan tani benar-benar menjadi solusi bagi persoalan petani? Dan apakah DPRD hanya memberikan persetujuan simbolis tanpa pengawasan nyata?

Urgensi Jalan Tani dalam Lanskap Pertanian Maluku Utara

Maluku Utara memiliki kontur wilayah yang cukup ekstrem. Lahan pertanian banyak tersebar di daerah terpencil dan sulit dijangkau kendaraan bermotor. Dalam kondisi seperti ini, jalan tani menjadi elemen vital dalam mendukung distribusi input pertanian (pupuk, benih, alat pertanian) serta hasil panen ke pasar. Banyak kelompok tani di Halmahera Barat, Halmahera Selatan, dan Pulau Obi mengeluhkan tingginya ongkos angkut hasil panen karena buruknya akses jalan menuju lahan produksi.

Karena itu, ketika Kepala Dinas Pertanian Serly Laos mengumumkan target pembangunan 50 kilometer jalan tani di tahun ini, banyak pihak berharap program ini menjawab keluhan petani selama ini. Dalam salah satu pernyataannya, Serly menyatakan:

“Kami menargetkan efisiensi biaya produksi dan distribusi lewat pembangunan jalan tani. Jika akses terbuka, petani bisa mengurangi beban biaya angkut hingga 20 persen.”
(Serly Laos, pernyataan dalam forum Musrenbang, Sofifi, Maret 2025)

Sayangnya, program yang bagus di atas kertas ini tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi lapangan.
Data Anggaran dan Kenyataan Pembangunan
Pada rapat paripurna DPRD tanggal 3 Juli 2025, realisasi belanja APBD tahun 2024 dilaporkan mencapai Rp 3,76 triliun atau 91,4 persen dari pagu. Sementara itu, realisasi pendapatan mencapai 92,45 persen. Pendapatan Asli Daerah (PAD) justru melampaui target dengan realisasi 121,6 persen atau Rp 1,08 triliun (sumber: haliyora.id).

Meski terlihat sukses dari sisi keuangan, beberapa anggota DPRD justru mempertanyakan efektivitas penggunaan anggaran. Efisiensi anggaran sebesar Rp 160 miliar yang dilakukan pemerintah pusat turut menjadi perdebatan di DPRD karena berpotensi memangkas pos infrastruktur pertanian termasuk jalan tani.

“Kami tidak ingin program prioritas seperti jalan tani justru terhambat karena rasionalisasi anggaran yang tidak dikomunikasikan dengan baik kepada kami,” ujar Ketua Komisi II DPRD Maluku Utara dalam forum terbuka di Sofifi, Juli 2025.

Dukungan Politik: Apakah Serius atau Simbolik?

DPRD telah menyatakan dukungan terhadap program jalan tani, namun bentuk dukungan itu lebih sering muncul dalam bentuk pernyataan normatif ketimbang kontrol fungsional. DPRD tidak secara terbuka merilis data evaluasi atas program jalan tani tahun-tahun sebelumnya. Apakah pembangunan jalan tani sebelumnya berhasil menurunkan biaya produksi? Apakah kelompok tani terlibat dalam proses perencanaan lokasi? Dan bagaimana sistem pemeliharaan jalan pasca dibangun?

Hingga kini, publik belum memiliki jawaban yang pasti. Lebih dari itu, dalam wawancara bersama salah satu petani dari Desa Gela, Halmahera Barat, terungkap bahwa jalan tani yang dibangun tahun lalu kini rusak parah karena tidak dilengkapi drainase dan material jalan yang digunakan sangat tipis.

“Saat musim hujan, motor saja tidak bisa lewat. Kita mau angkut cengkeh atau pala harus pakai pikul. Katanya jalan tani, tapi tidak bisa dipakai,”
ujar Hasan, petani cengkeh di Halmahera Barat, saat diwawancarai pada Juni 2025.

Kritik dari Tingkat Nasional

Isu jalan tani tidak hanya dibicarakan di level provinsi. Anggota DPD RI asal Maluku Utara, Graal Taliawo, juga menyinggung perlunya peningkatan infrastruktur pertanian di daerah seperti Bukit Durian (Tidore) dan Tewil (Haltim), yang selama ini tertinggal dalam aspek pembangunan jalan tani. Ia menekankan pentingnya jalan tani yang terintegrasi dengan pembentukan koperasi petani dan penguatan hilirisasi hasil pertanian.

“Pembangunan jalan tani jangan cuma berbentuk fisik. Harus ada pelatihan, pembentukan koperasi, dan akses pasar. Kalau tidak, ini hanya bangun jalan yang tidak mengubah nasib petani,”
ujar Graal dalam agenda kerja DPD, Juni 2025 (antaranews.com).

Dukungan DPRD terhadap program jalan tani patut diapresiasi, namun apresiasi tanpa kontrol justru membuka celah penyalahgunaan. Serly Laos sebagai pemimpin teknis memiliki niat baik, tetapi ia tidak boleh berjalan sendiri. Pemerintah, dewan, dan masyarakat harus memastikan bahwa jalan tani benar-benar menjadi jalan perubahan bagi petani, bukan hanya jalan menuju proyek tahunan tanpa arah.

Jika ini gagal dilakukan, maka jalan tani hanya akan menjadi jalan di atas tanah—bukan jalan menuju kesejahteraan.***