Oleh: Nabil Haji
(Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Ternate)
Kasus kekerasan seksual terhadap seorang siswi SMK di Obi, Halmahera Selatan, kembali membuka luka lama soal buramnya wajah penegakan hukum di daerah. Laporan resmi atas pemerkosaan yang dilakukan oleh enam pelaku terhadap siswi berusia 15 tahun ini masuk ke Polsek Obi pada 13 Juni 2025, sebagaimana tercatat dalam STPL/30/K/VI/2025. Namun ironisnya, bukan hanya kekerasan itu yang mengguncang nurani publik, tetapi juga dugaan keterlibatan oknum polisi dalam memfasilitasi mediasi informal antara keluarga korban dan pelaku, tindakan yang jelas dilarang oleh Undang-Undang TPKS.
Tindakan mediasi di luar jalur hukum dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak sekadar melanggar etika profesi, tetapi dapat dikategorikan sebagai obstruction of justice sebagaimana diatur dalam Pasal 221 KUHP. Jika benar dilakukan, ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap mandat konstitusional aparat. Melindungi rakyat dan menegakkan hukum. Dalam konteks ini, kegagalan sistemik terlihat jelas, bukan hanya dari sisi regulasi, melainkan dari praktik di lapangan, praktik yang lebih mementingkan ketenangan sosial semu ketimbang keadilan substansial bagi korban.
Publik baru bereaksi pada 9 Juli 2025, saat ratusan warga dan aktivis melakukan protes di Mapolsek Obi. Aksi ini menuntut pencopotan oknum aparat yang dianggap melindungi pelaku kejahatan seksual. Respon baru muncul tiga hari kemudian, saat Divisi Propam Polres Halmahera Selatan memanggil dan memeriksa ketiga polisi tersebut. Proses ini adalah hasil tekanan publik, bukan inisiatif lembaga penegak hukum yang semestinya proaktif sejak awal.
Budaya mediasi yang dibungkus dengan istilah “restorative justice” kerap dijadikan dalih untuk menghindari proses hukum yang semestinya dijalani pelaku. Dalam banyak kasus di daerah terpencil seperti Obi, justru hal ini menutup akses korban terhadap keadilan. Ini bukanlah bentuk keadilan, tetapi pembiaran terhadap kejahatan. Lebih dalam lagi, fenomena ini mencerminkan budaya patriarkal yang masih mengakar: perempuan dan anak dipaksa menanggung malu dan tekanan sosial, sementara pelaku yang memiliki akses kekuasaan, uang, atau jabatan justru dilindungi.
Momentum di Obi seharusnya menjadi refleksi nasional. Kepolisian, sebagai institusi penegak hukum, harus bersikap netral dan profesional. Ketika aparat justru memfasilitasi penyelesaian di luar jalur hukum, maka institusi itu kehilangan kepercayaan publik. Polda Maluku Utara dan Divisi Propam Polri harus menindaklanjuti dugaan ini secara terbuka dan transparan. Penegakan sanksi etik tidak cukup. Jika ditemukan unsur pidana, maka proses hukum harus dijalankan tanpa kompromi.
Di sisi lain, negara dan masyarakat sipil juga memiliki tanggung jawab besar. Edukasi hukum, pendampingan psikologis, dan keberpihakan media sangat dibutuhkan untuk memperkuat posisi korban, terutama di daerah terpencil. Kasus ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap korban belum menjadi prioritas dan ini harus segera diubah.
Negara hukum tidak hanya dibangun melalui pasal-pasal di atas kertas, tetapi juga melalui keberpihakan nyata pada korban. Jika hukum tidak mampu melindungi yang lemah, maka kita sedang memelihara ketidakadilan. Saatnya kita berhenti memediasi kejahatan, dan mulai menegakkan keadilan.***